Jika aku kecewa, jangan
salahkan apa yang bergemuruh di dada. Jangan salahkan rasa yang akhirnya
tergilas oleh nestapa. Bukan aku tak ingin mendekat, tapi karena memang tak ada
lagi alasan untukku menetap. Kalau ditanya tentang rindu, aku tak bisa
membohongi kalbu. Aku juga merasakan rindu. Hingga menjadi sendu. Tenggelam
dalam sedu sedan tangis yang tak pernah ku tahu kapan bisa habis.
Entah apa ini hanya
pembenaranku semata. Ataukah memang ini kenyataan yang ada. Aku rasa, tak ada
yang salah dengan kecewaku. Begitu juga dengan amarahku. Ataupun dengan
benciku. Anak gadis mana yang hatinya tak perih jika menerima kenyataan bahwa
orang yang selama ini dipujanya ternyata menyajikan ketidaksetiaan? Anak gadis
mana yang tak meraung jika orang yang dianggap sebagai malaikat pelindungnya
ternyata membuatnya harus terundung dalam duka?
Aku rasa, tak ada satupun
perempuan yang ingin terjebak dalam ruang pengkhianatan. Apalagi jika
pengkhianatan itu dilakukan oleh orang yang dia anggap sebagai satu-satunya
orang yang tak akan pernah melakukannya. Aku katakan sekali lagi, tak mudah
menjadi aku. Tak mudah bagiku untuk tetap berdiri dan mengatakan pada dunia
bahwa aku baik-baik saja. Bahwa aku tak merasa resah menghadapi gelisah dua
orang yang sekarang ada di bawah tanggungjawabku. Aku takut. Aku takut tak bisa
membahagiakan mereka. Aku takut tak bisa membuat hidup mereka menjadi nyaman
dan aman.
Apa kau tahu segala
kekalutan yang aku rasakan sejak kau pergi meninggalkan kami? Apa kau tak
menyadari bahwa aku takut punggungku tak kuat untuk menopang mereka? Apa kau tak merasa bahwa kau telah melalaikan
tanggungjawabmu pada kami dan memaksaku untuk menjadi nahkoda? Apa kau lupa
bahwa aku masih tak bisa menggunakan kompas yang kau berikan dengan baik? Apa
kau memang tak tahu atau tak mau tahu lagi tentang apa yang terjadi pada kami
setelah kau pergi?
Ah entahlah. Apa lagi yang
harus ku tulis untuk menggambarkan apa yang sedang aku rasakan. Aku seperti
sudah kehabisan kata-kata. Jangankan untuk mengungkapkan padamu sebesar apa
luka menganga yang kau buat ini, untuk menuliskannya saja aku sudah tak mampu
lagi.
Jadi biarkan saja aku dengan
lukaku. Tak usah kau coba untuk mengobati perihku. Begitu pun aku. Aku juga akan
membiarkanmu menjalani hidup yang kau pilih sendiri tanpa campur tanganku. Biar
saja kita sama-sama menyadari bahwa aku sudah tak harus lagi kau dampingi. Dan
aku cukup mengerti bahwa aku juga sudah tak lagi memiliki arti.
Kembalilah jika masih ingin
kembali. Pergilah jika membersamaiku memang membuatmu lelah. Dengan apa yang
selama ini kau ajarkan padaku, aku akan mencoba memampukan diriku. Menjadi
punggung yang kokoh agar mereka bisa bersandar padaku. Menjadi kaki yang kuat
untuk menopang berat tubuh mereka. Dan menjadi tangan yang tangguh untuk tak
melepas genggaman mereka.
Tak usah kau berpikir bahwa
aku menjauh. Karena tanpa kau sadari, kau sendirilah yang mengajarkanku untuk
acuh. Biarkan saja segalanya menjadi riuh. Karena pada saatnya nanti aku tak
akan lagi merasa rapuh. Ada yang akan aku rengkuh. Ada yang akan menenangkan
gemuruh.
Aku akan tetap menjadi aku.
Kau juga akan tetap menjadi engkau. Dan satu hal yang sama-sama tak bisa kita pungkiri,
dalam tubuh kita mengalir darah yang sama.
Komentar
Posting Komentar