Rindu.

“Kenapa kamu gak nikahin aku ajah dari dulu kalau masih ada kata rindu?”, ujarku memecah keheningan malam itu. “Bi, kita ketemu seperti ini rasanya gak enak banget di hatiku. Kamu tahu, Bi. Bahkan aku rasa kamu sangat tahu. Kamu masih satu-satunya orang yang tetap tinggal di hatiku sampai detik ini. Kamu juga tahu kalau aku gak akan pernah bisa melupakanmu. Ketemu sembunyi-sembunyi gini bikin kita kayak tawanan yang tinggal nunggu di pergokin sama petugas penjara tahu gak sih, Bi? Kamu juga pasti tahu kalau aku gak akan pernah bisa nolak diajakin ketemu kamu. Rindumu masih sama dengan rinduku, Bi. Rasa kita mungkin memang masih sama”, lanjutku.

Bian menghela nafas panjang. Dia menatapku dengan gusar. Keringat menetes dari keningnya. Satu tahun sudah kami tak pernah bertatap muka seperti ini. Jangankan untuk bertatap muka, mendengar suaranya saja sudah tak pernah. Dan malam ini adalah hari yang sebenarnya memang aku tunggu. Bertemu Bian meski dengan keadaan yang sangat jauh berbeda.

“Aku kangen kamu, Ay. Aku rasa gak perlu lagi aku menjelaskan kenapa aku gak nikahin kamu setelah ribuan hari aku lewatin sama kamu. Kamu juga gak perlu lagi nanyain hal yang sudah kamu tahu jawabannya. Luka kita sama, Ay. Aku minta maaf karena caraku mengakhiri semuanya mungkin membuatmu sangat terluka. Tapi saat itu gak ada hal lain yang bisa aku lakukan. Kamu tahu posisiku, Ay. Kita gak perlu lagi mengorek luka yang sedikit demi sedikit sudah kita coba obati ini kan, Ay?”, ujar Bian dengan mata berkaca-kaca.

“Aku tahu. Tapi kenapa harus ada kata rindu lagi setelah satu tahun semua berlalu, Bian? Kenapa kamu gak perjuangin aku dan kita menikah saja dulu?”, ucapku dengan nada yang mulai meninggi. “Kamu pikir enak ada di posisi yang harus meninggalkan? Kamu tahu, aku bukan tipe orang yang bisa meninggalkan orang lain tanpa beban. Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa sih kamu harus nanyain pertanyaan yang kamu sudah tahu jawabannya? Perlu aku ulangin lagi semua yang sudah kamu tahu? Aku gak bisa jadi imammu saat kamu sholat. Aku gak bisa sholat Ied sama kamu waktu hari raya. Aku gak bisa halal bagi kamu menurut agamamu. Aku membuat kamu dicibir sama keluarga besarmu. Kamu gak bisa bersamaku di altar dengan sepenuhnya. Kamu gak bisa misa sama aku. Kamu gak bisa ada kalau anak kita di baptis nantinya. Kamu sudah tahu semua alasan itu, Ay. Please jangan jadikan aku seperti tersangka. Aku sayang sama kamu, Ay. Aku mengambil keputusan itu karena aku tahu aku gak bisa jadi laki-laki yang baik menurut agamamu”, sambung Bian juga dengan nada meninggi.

“Bi, Biiii, Biiii, aaaa..aa..a..ku takut, Bi. Aku takut semua ini memperburuk suasana”, ujarku sambil mulai menangis. “Ay, kamu masih ingat kan? Aku pernah bilang sama kamu. Aku akan benar-benar melepaskanmu kalau sudah ada laki-laki yang seiman denganmu dan dia lebih baik segalanya dari aku. Dan saat kamu menceritakan tentang laki-laki itu, memberitahukan padaku betapa dia sangat memperlakukanmu, ibu dan adikmu dengan sangat baik, saat itu pulalah aku merasa bahwa memang saatnya aku harus melepaskanmu. Membiarkanmu berada di pelukan laki-laki yang bisa halal bagimu menurut agamamu. Kamu juga pasti ingat, selama kita bersama, gak pernah sekalipun kita bertengkar. Memang pada akhirnya saat kita pisah, kita memang bertengkar hebat. Tapi sekarang, kita kembalikan perdamaian itu meski dengan situasi berbeda. Kamu bawa kedamaian itu ke jalanmu, begitupun aku”, ujar Bian sambil memegang tanganku.

Aku menggenggam erat tangannya. Tangan yang masih sama seperti setahun lalu. Tangan yang ukurannya jauh lebih besar dari tanganku. Ketika aku menggenggam tangannya seperti ini, aku selalu merasakan kehangatan yang sudah tak lagi ku rasakan sejak satu tahun lalu. Tapi kali ini situasi kami sudah berbeda. Sesosok laki-laki seiman yang aku ceritakan pada Bian telah meninggalkanku tepat di beberapa belas hari sebelum pernikahanku dengannya. Dan ketika menggenggam tangan Bian kali ini, ada yang berbeda. Di jari manisnya sudah melingkar sebuah benda berwarna kekuningan. Ketika jemariku menyentuhnya, aliran darahku seakan berhenti dan dadaku menjadi sangat sesak seperti kekurangan oksigen.

“Ay, aku pernah bilang kan? Dia itu seperti kamu. Bersamanya seperti bersamamu. Hidup dengannya seperti hidup denganmu. Bagiku, dia itu kamu, Ay. Awalnya aku selalu berpikir seperti itu. Tapi akhirnya aku sadar, tanpa dia sadari, aku hanya akan menyakiti dia jika menyamakannya denganmu. Aku juga akan lebih membuatmu sulit melepaskan kita jika aku selalu mengatakan bahwa dia itu sama dengan kamu. Aku juga akan selalu hidup terjebak dengan bayang-bayangmu padahal yang di hadapanku bukan kamu. Kamu tetap kamu, Ay. Bagaimanapun, sampai kapan pun juga, kamu punya tempat tersendiri di sini, tak akan ada yang bisa menggantikannya”, ujar Bian sambil meletakkan tanganku di dadanya.

Aku tak bisa berkata apapun. Saat-saat seperti ini aku hanya bisa merebahkan kepalaku di pundaknya. Pundak ini yang selalu menjadi tempatku berbagi lelah selama ribuan hari kebersamaan kami. Pundak ini pulalah yang selalu basah karena air mataku ketika aku tak bisa membendung tangis karena beratnya cobaan hidup yang aku alami. Genggaman tangan ini juga yang selalu menguatkanku saat aku terjatuh dan terhempas karena badai-badai kehidupan yang menghampiriku. Tapi tangan ini pula yang akhirnya melepaskanku dan menggenggam tangan yang lain saat memasuki rumah ibadahnya untuk menuju altarNya dan mengikat janji sehidup semati.

“Di balik semua yang kamu alami sekarang, semua masalahmu sejak dua tahun lalu yang belum ada penyelesaian ini dan kepergian laki-laki pengecut itu tepat di beberapa belas hari sebelum hari pernikahanmu, percayalah DIA sudah menyiapkan pelangi terindah untukmu. Aku tahu kamu wanita hebat. Tak ada kata menyerah ya, Ay. Ibu dan adikmu sangat membutuhkanmu. Mau jadi apa mereka kalau kamu menyerah. Ingat, hidupmu sekarang hanya untuk membahagiakan mereka. Jadi obati dengan perlahan rasa sakitmu sekarang. Lupakan laki-laki yang sudah menyia-nyiakanmu itu. Dia tak pernah tahu bahwa ada aku yang sangat terpukul ketika harus melepaskanmu untuk dia yang aku harapkan bisa menjadi imam yang baik untukmu dan anak-anakmu kelak. Aku selalu membawamu dalam setiap doaku, Ay. Kita akan menemukan bahagia dengan jalan kita masing-masing. Tak perlu kau tanyakan bagaimana rasaku ke kamu. Akupun begitu, tanpa perlu aku bertanya, aku tahu semua rasa itu masih belum berubah”, ujar Bian dengan suara yang mulai serak.

“Aku tahu, Bi. Aku tahu kenapa kamu mengajakku bertemu sekarang. Kamu tahu, betapa aku merasakan di hempas yang teramat sangat saat ini. Dua tahun aku mencoba berdiri tegar melawan sakit yang timbul. Mencoba menjadi yang terdepan untuk melindungi dua wanitaku itu. Tapi kau juga pasti tahu betapa rapuhnya aku yang sebenarnya. Saat laki-laki pengecut itu datang dan aku menceritakannya padamu, seketika itu pula kamu mengiyakan untukku menerima dia, saat itu aku seperti punya harapan baru. Aku memang sudah tak seharusnya terus berlindung di balik tubuh jangkungmu ini, itu mengapa aku memutuskan mengikuti saranmu, tak harus laki-laki sepertimu asalkan dia seiman dan bisa memuliakanku, ibu dan adikku, itu sudah sangat cukup.  Itu kan yang kamu bilang saat itu padaku. Meski sekarang nyatanya, dia menggoreskan luka baru pada luka yang masih basah, dengan aku berada di sampingmu sekarang, menatapmu dari jarak yang paling dekat, merebahkan penatnya kepalaku di pundakmu dan mendengarkan semua ucapanmu, ini rasanya seperti di suntik obat penenang berdosis tinggi”, ujarku dengan tenang.

Bian tak berkata apa-apa, dia hanya menggenggam tanganku dengan makin kuat. Semakin terasa pula bahwa benda yang melingkar di jemari Bian menekan telapak tanganku. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku bahagia karena Bian juga bahagia. Melihat Bian dengan tubuh yang sudah mulai berisi pun cukup membuatku tersenyum lega. Dia telah merawat Bian dengan sangat baik. Aku hanya bisa berterimakasih padanya dari dalam hatiku karena dia sudah menggantikan posisiku untuk menjaga Bian.

“Ay, aku sudah merasakan bahagiaku bersamanya. Benar katamu dulu, tak ada bahagia yang lebih dahsyat dibandingkan bersimpuh menghadapNya bersama sosok yang menyebutNya dengan nama yang sama. Kamu juga harus bahagia. Bahagiakan dirimu sendiri. Nikmati apa yang kamu dapatkan sekarang. Pekerjaanmu. Karirmu. Travelingmu. Bahagialah untuk semua itu. Ibumu. Adikmu. Mereka prioritasmu. Ingat kata-kataku, harus benar-benar kamu ingat, aku tak mau mendengar bahwa kau menyerah. Kita masih bisa saling mendoakan. Kamu juga pasti sudah tahu kan kalau aku akan segera menjadi Ayah. Tiga bulan lagi aku akan melihat malaikat kecilku. Dari dalam perut ibunya, aku yakin dia juga ingin mendengar kamu menyebutnya dalam setiap doa baikmu untuknya”, ujar Bian yang aku sambut dengan sebuah anggukan kecil.

Malam ini aku benar-benar menyadari bahwa selama ini hanya Bian yang tetap ada di hatiku bagaimanapun keadaannya. Dialah satu-satunya lelaki yang aku butuhkan dalam hidupku. Tapi selama ini kenyataan selalu berteriak di telingaku bahwa dia juga satu-satunya orang yang tak boleh aku dapatkan. Dialah yang membuatku tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tak boleh dicintai. Dulu keadaan seperti ini membuatku merasa bahwa hidup ini tak adil. Tapi malam ini, aku bersyukur bahwa Allah sudah memberikan hidup yang seadil-adilnya untukku dan untuk Bian. Dengan kehidupan yang saat ini dijalani masing-masing, ketika tiga bulan lagi mailakat kecil Bian terdengar suara tangis kencangnya, ada ibunya yang pasti mendampinginya saat dia di baptis. Dan aku? Ketika kelak aku menikah, hamil dan melahirkan mailakat kecilku, aku tak perlu risau karena ada ayahnya yang akan melafalkan Adzan di telinga mungilnya.

Deru mobil yang berpacu dengan suara klakson kendaraan-kendaraan yang sedang lewat menjadi irama yang paling indah di telinga kami. Dan pundak Bian juga masih menjadi tempat ternyamanku untuk merebahkan segala penat dan sesak yang selama ini hanya aku pendam sendiri.


Komentar