Setelah
sekian lama kita tidak bercengkerama, bolehkah malam ini aku meminta sesuatu
darimu? Aku ingin merebahkan kepalaku di pundakmu. Aku ingin melepaskan penatku
di bahumu. Aku ingin menumpahkan sedihku pada rengkuhan pelukmu. Aku ingin
merasakan hangatnya genggaman tanganmu. Aku ingin mendengarkan merdunya
suaramu. Aku minta, izinkan aku merasakan semua itu lagi, malam ini.
Kau
tahu? Betapa aku sedang merasakan duka. Merasakan rasa sakit yang luar biasa. Merasakan
sepi yang teramat dalam. Merasakan pedihnya diabaikan. Merasakan tersiksanya
diinjak-injak. Hidup terasa begitu kejam. Aku merasa seperti seorang
narapidana. Aku seperti sedang menerima sebuah hukuman. Rasanya sungguh
memuakkan. Aku tak bisa melakukan apa-apa. Hanya ada bulir-bulir air mata.
Aku
sudah melewati usia seperempat abad. Ingatkah kau tentang percakapan-percakapan
kecil kita setiap malam saat aku masih belasan tahun? Kau satu-satunya
panutanku. Kau yang selalu memompakan semangatmu padaku. Kau selalu menyuntikkan
ribuan kubik impian di otakku. Kau selalu bilang, aku harus menjadi perencana
yang ulung. Katamu, seorang perencana yang ulung akan selalu bisa memperoleh
hasil yang spektakuler.
Aku
hampir tak pernah merasakan bagaimana sakitnya mengalami sebuah kegagalan. Kau selalu
ada mendukungku. Tak pernah kau meninggalkanku tenggelam dalam kegagalanku. Kehadiranmu
selalu membuatku percaya, aku bisa meraih mimpi yang lain. Aku buta dengan rasa
sakit hati. Sosokmu selalu membuatku yakin, sesakit apapun hatiku, kau pasti
selalu mempunyai obat yang manjur untuk menyembuhkan luka hatiku.
Lihatlah
gadis kecilmu ini. Aku akan menuju 26 tahunku di tahun ini. Perlahan aku sudah
bisa meraih satu per satu mimpiku. Mimpi kita. Mimpi yang hampir selalu kita
diskusikan. Aku sudah berada di titik ini. Aku memang belum sepenuhnya
mencintai duniaku yang sekarang. Tapi dari aku masih merangkak, aku selalu
melihatmu dikerubungi murid-murid kecilmu. Aku selalu melihatmu mendidik mereka
dengan caramu. Kecintaanmu pada dunia pendidikan, ternyata juga membuatku
terjatuh di dunia yang sama denganmu. Aku ingin menceritakan banyak hal tentang
duniaku sekarang padamu. Aku butuh celotehmu tentang apa itu mendidik, apa itu
mengajar, apa itu totalitas, apa itu mengabdi dengan sepenuh hati. Aku butuh
sosokmu. Aku butuh kehadiranmu pada duniaku.
Tengoklah
sejenak. Menolehlah ke arahku. Dan lihatlah aku sekarang. Aku tumbuh menjadi
gadis seperti yang kau harapkan. Aku bisa hidup mandiri. Aku berada ribuan
kilometer jauhnya darimu. Aku di sini untuk mimpimu. Mimpimu melihatku menjadi
seorang abdi negara. Aku melakukannya untukmu, tidakkah kau tertarik untuk
sejenak memalingkan wajahmu ke arahku? Kau selalu mengajarkanku untuk berdiri
tegak dengan kakiku sendiri. Mengerjakan semua dengan tanganku sendiri. Merencanakan
semua mimpiku satu per satu untuk aku raih. Kau selalu mengajarkanku untuk tak
pernah letih berjuang. Kau mengajarkanku tegas pada diriku sendiri dan pada
hidupku. Lihatlah. Aku menjadi seperti sekarang karena sosokmu.
Mungkin
kau juga sudah mendengar beberapa celotehan tentangku. Iya, dia yang aku
percaya bisa menjagaku, sudah pergi meninggalkanku. Tepat di beberapa belas
hari sebelum kau berjabat tangan dengannya di depan penghulu dan para saksi. Dia
pergi membawa sekeping mimpi yang sudah tersusun. Dia pergi membawa sejengkal
harap yang sudah aku letakkan di bahunya. Dia pergi tanpa kata. Meninggalkanku
tenggelam dalam kubangan air mata. Kau tahu apa yang ada di benakku saat ini?
Andai kau masih berdiri tegak di sampingku, aku yakin, kau tak segan-segan akan
memenggal kepalanya atau bahkan menguburnya hidup-hidup. Aku tahu kau pasti
akan melakukan itu karena aku selalu yakin, kau tidak akan pernah rela berlianmu
yang sudah kau jaga dari masih di dalam cangkang dibuang dan diinjak-injak
begitu saja. Tapi akhirnya aku hanya berandai-andai, karena nyatanya sekarang
kau tak ada di sisiku. Kau tenggelam bersama duniamu yang baru. Sama sepertinya.
Kau meninggalkanku. Meninggalkan kami bertiga.
Kemarilah
sejenak. Peluk aku sampai aku mengantuk dan ingin tidur. Nyanyikan aku gending-gending
jawa seperti yang selalu kau lakukan dua puluh tahun lalu. Marahlah padaku seperti
saat aku tak mau makan sayur. Mengocehlah padaku seperti saat aku pulang
terlambat karena asyik bermain. Bawakan aku sekotak es krim meski sudah
mencair. Tataplah mataku seperti saat aku merasakan kegugupan mengikuti lomba. Tersenyumlahlah
padaku seperti saat kau melihat hasil akademikku. Siramilah aku dengan semua
kata-kata penguatmu. Hujani aku dengan cintamu. Puaskanlah aku dengan
perhatian-perhatianmu.
Aku
tak sekuat yang orang lihat. Aku rapuh. Tangisku selalu pecah tiap kali aku
mengingatmu. Dadaku selalu berdesir ketika melihat gadis lain bercengkarama
dengan sosok yang sama sepertimu. Hatiku terasa nyeri setiap kali membayangkan
kau mengusap rambutku. Inginku menyumbat telingaku karena setiap kali aku
seperti mendengar gaungan suaramu. Tak rindukah kau mengomeliku? Tak rindukah
kau menelponku hampir setiap jam? Tak rindukah kau menanyakan setiap detail
aktifitasku? Tak rindukah kau memanjakan gadismu ini? Sudah hampir dua tahun, masih
belum inginkah kamu kembali pada kami?
Sedewasa
apapun aku nanti, aku masih tetap gadis kecilmu. Aku selalu membutuhkan
sosokmu. Putra-putri kecilku nanti pasti juga ingin mengenal sosokmu. Pulanglah.
Aku merindukanmu, bapak..
Komentar
Posting Komentar