Hai kamu yang disana, apa
kabarmu? Apa sekarang kamu sudah ada dalam dekap dia ataukah kamu sedang di
dekap sepi? Kemarilah sejenak. Tanpa perlu aku mengingatkan, kau juga pasti
mengingat rencana awal kita dua hari lagi. Entah apa yang kamu rasakan saat bangun
pagi tadi dan melihat tanggal hari ini di handphone kesayanganmu itu. Helaan
nafas panjang ataukah senyuman yang merekah seakan tak terjadi apa2, hanya kamu
yang mengetahuinya. Selama beberapa waktu sejak kamu memutuskan berbalik arah
dan tak menoleh lagi ke arahku, pernahkah sekali waktu, bahkan sedetik saja,
sempatkah kamu memikirkan kita? Memikirkan jalan yang pernah kita lalui dengan
binar-binar suka cita penuh cinta? Memikirkan apa yang sudah kita rencanakan
lalu kamu batalkan? Ataukah kamu melihat jalan yang pernah kita lalui menjadi
sepi, karena jalan itu bukan lagi menjadi milik kita?
Tenang
saja, bernafaslah dengan perlahan, jangan terlalu diburu dan terlihat emosi.
Aku sudah tak berharap kamu kembali atau menginginkan kamu datang lagi di
hidupku. Sekarang kamu sudah menempati tempat tersendiri di hatiku. Iya, di
pojokan hatiku, ruangan kecil yang selalu aku gunakan untuk menyimpan hal yang
sudah tak layak pakai. Kamu tak akan aku buang karena kamu akan tetap berdiam
di sana bersama yang tak layak pakai lainnya. Tertutup rapat dan tidak akan
pernah bisa terendus aromanya, bahkan oleh anjing pelacak sekalipun.
Biarkan
aku bercerita tentang beberapa hal padamu. Tak perlu kita bertatap muka, aku
juga enggan membuka pintu ruangan ini. Duduklah persis di belakang pintu. Aku
juga akan duduk di depan pintu. Aku akan menceritakan padamu dengan suara yang
sedikit lebih kencang agar kau bisa mendengarkanku dari balik pintu.
Kamu.
Sosokmu yang friendly ketika awal perkenalan kita
membuatku merasa seperti berkaca. Aku seperti melihat sosok diriku sendiri
dalam sapamu. Perhatian-perhatian kecilmu kala itu seakan membuatku lupa bahwa
aku baru saja menjadi seorang perantau di tanah timor ini. Lelucon-lelucon
segarmu membawaku hanyut dalam tawa. Saat itu, seakan tak ada lagi masa lalu
yang membelengguku. Yang aku lihat hanya secercah masa depan dalam matamu. Iya,
masa depan yang kamu tawarkan sejak awal kita berjabat tangan.
Kamu.
Kamu pernah menjadi sosok yang paling aku banggakan. Iya, dengan segala
kekuranganmu, aku tak pernah kekurangan kata dan kalimat untuk membanggakanmu,
selalu membanggakanmu di depan semua orang yang menanyakanmu. Tak pernah habis
kataku setiap aku menceritakanmu pada mereka. Berada di sisimu, membuatku
merasa menjadi wanita paling beruntung karena telah dipilihmu untuk menjadi ibu
dari anak-anakmu kelak. Saat itu aku merasa, bahwa Tuhan sudah menjawab
doa-doaku dengan mengirimkanmu sebagai laki-laki terakhir dalam perjalanan
jatuh bangunku mencari sesosok adam yang bisa menjadi imam yang halal untuk
memimpin sholatku dan anak-anakku kelak.
Kamu.
Kebersamaan kita, detik demi detik hingga bulan demi bulan, kita lalui dengan
sangat baik. Tak perlu aku menjabarkan satu per satu. Aku rasa, otakmu masih
sangat cukup untuk menyimpan memori tentang detail bagaimana selama ini kita
menghabiskan waktu bersama. Tapi entah jika sekarang memori itu sudah tak bisa
terbaca atau bahkan sudah kau cungkil dan kau keluarkan dari otakmu. Ahh..tapi
sudahlah, ada atau tidaknya memori itu sekarang, yang jelas, kau tetap tak bisa
memungkiri, bahwa kau pernah memberikan cintamu yang meluber untukku.
Kamu.
Entah apa yang sedang kamu lakukan di sana sekarang. Di duniamu yang baru. Di
duniamu yang sudah tanpa aku. Di duniamu yang mungkin sudah lebih hangat dengan
dekapannya. Di duniamu yang bisa jadi lebih tenang dengan tawanya. Ataukah
sekarang dunia barumu hanya dipenuhi dengan penyesalan yang coba kau enyahkan?
Kamu.
Ketahuilah, melewati hari-hari dalam minggu ini bukanlah sebuah hal yang mudah
buatku. Aku hanya sesosok wanita biasa yang sudah terlanjur tenggelam dalam
angan-angan sebuah momen sakral bak cinderella yang dipersunting pangerannya.
Aku memang sudah tercebur dalam kubangan impian indah yang sudah kau buatkan
untukku selama beberapa ratus hari terakhir kebersamaan kita. Aku memang masih
berada di dalam kubangan itu. Aku belum mengeringkan diriku yang sudah
terlanjur basah dengan ribuan kubik impian indah masa depan yang sudah kau
buatkan untukku itu.
Aku
memang harus mengakuinya padamu. Satu minggu terakhir menuju 17 Januari ini
memang minggu terberat yang harus aku lewati. Satu minggu dengan hari-hari
dimana saat siang aku bisa tertawa kencang bersama teman-temanku tapi malamnya
aku bisa menangis pilu hingga harus berakhir dengan Alprazolam dan Serenade
agar aku bisa tertidur pulas sampai pagi. Aku tak malu harus mengakui ini
padamu. Bahwa kau masih menjadi penyebab utamaku menangis hingga sesak yang
teramat sangat di dada. Iya, tangisku memang semakin menjadi di malam ini,
malam dimana seharusnya kita sedang duduk berdampingan di dalam kendaraan
menuju tanah kelahiranku.
Sekali
lagi, tenang saja, aku menulis ini bukan untuk merengek memintamu kembali.
Tetaplah pada pilihanmu. Pilihanmu untuk berbalik arah tepat di dua minggu
menjelang momen sakral kita dan pilihanmu untuk menetap di tempat baru untuk
menemukan apa yang kamu cari yang akhirnya tidak kau temukan di
aku. Jangan pernah kembali karena aku juga tak akan memintamu kembali. Aku
juga tak akan memaksa diriku untuk segera menyembuhkan lukaku karena ulahmu.
Perlahan, waktu yang akan mengobati semua luka itu dengan sendirinya. Dan
percayalah, aku akan berbahagia dengan pilihan yang sudah kau pilihkan untukku
ini. Karena sebelum mengenalmu saja aku sudah bahagia. Jadi tak ada bedanya aku
bahagia setelah tanpamu.
Malam
ini, sejenak terbersit di benakku, iya, seharusnya dua hari lagi. Tapi aku tak
pernah menyesali apa yang sudah terjadi. Apapun yang terjadi sekarang, aku rasa
DIA sudah sangat sempurna merancang skenarioNya untuk hidupku. Menunjukkan
segala sesuatunya dengan tepat dan aku mendapatkan porsi yang sesuai dengan
kemampuanku. Kamu memang sudah memilih dan bukan salahmu memilih pergi. Hanya
saja, aku yang salah meletakkan kepercayaan dan harapan sepenuh
hatiku pada laki-laki sepertimu. Jadi, berbahagialah dengan pilihanmu
ini, tuan. Semoga kerikil-kerikil yang kamu taburkan sekarang tak menjadi
batu kokoh yang bisa menghalangi bahagiamu di masa depanmu nanti.
15 Januari 2016
by @valensia90
Komentar
Posting Komentar