Teruntuk kalian yang sudah berbahagia di atas perihnya lukaku


Ketika aku menuliskan ini, aku sudah tak lagi merasakan hati yang penuh dengan kecamuk. Mataku juga sudah tak lagi basah dengan air mata. Dan otakku sudah sangat menyadari bahwa Allah telah mencurahkan cintaNya yang sangat besar untukku.

Kebahagiaan kalian yang telah bersatu dalam ikrar suci pernikahan sudah kalian dapatkan. Kebahagian yang kalian peroleh dari tetesan air mata dan sakit hatiku. Tawa yang kalian tunjukkan tak lain di dapatkan dari merampas tawaku. Kebersamaan yang kalian rasakan sekarang itu telah melewati jalan hidupku dengan cara menginjak-nginjak harga diriku dan keluargaku. Masa depan yang akan kalian jalani juga terjadi setelah memotong jalan masa depanku.

Hai wanita yang sudah disebut sebagai istri. Kau pasti masih sangat ingat apa yang telah aku katakan tepat di hadapanmu hari ini. Kau telah berhasil mengoyak hatinya dengan hadirmu tepat di beberapa belas hari sebelum pernikahanku dengan laki-laki yang kau panggil suami itu. Kau juga telah berhasil membuatnya berpaling dariku dan membatalkan rencana yang sudah kami susun selama 6 bulan terakhir lalu dia melamarmu tepat di beberapa belas hari menjelang waktu seharusnya dia menikahiku. Tak usah bangga kau bisa memilikinya sebagai suami setelah kau menikung jalan yang sedang aku lalui bersamanya. Ini bukanlah sebuah kebanggaan. Melainkan adalah sebuah beban. Tak mudah menjaga seorang penghianat. Apalagi harus menghabiskan sisa umurmu bersamanya. Sungguh itu bukanlah sebuah hal yang mudah.

Dan kau laki-laki yang sudah disebut sebagai suami. Pasti tak akan pernah kau lupa bagaimana rasanya wajah yang basah karena disiram segelas teh di hari pertama pernikahanmu. Ceritakan pada anak laki-lakimu nanti bahwa kau pernah menjadi seorang pengecut, tak bertanggungjawab, tak punya komitmen dan tak memiliki etika sesaat sebelum menikahi ibunya. Didiklah anak laki-lakimu untuk menjadi laki-laki yang jauh lebih baik darimu. Meski aku tak yakin kau bisa melakukan itu. Karena darah penghianat dan pengecut akan tetap mengalir deras dalam tubuh anak laki-lakimu. Tapi setidaknya jadikan dia laki-laki yang tidak akan melakukan tindakan bodoh seperti yang kau lakukan padaku dan keluargaku.

Aku tahu, mungkin memang jalan jodoh kalian harus melewati aku terlebih dahulu. Tapi cara kalian untuk menuju pernikahan ini yang sangat tidak hormat. Kalian bermain api di belakangku. Kalian bermain kotor di luar penglihatanku. Sebenarnya aku juga tak segan-segan akan memberikan laki-laki itu padamu, hai wanita. Dan aku juga akan dengan senang hati merelakanmu memilih wanita itu meskipun kamu meninggalkanku tepat di beberapa belas hari sebelum pernikahan kita, hai laki-laki. Tapi kenyataannya kalian malah merajamku hingga aku berdarah-darah dan melangkah dengan terseok-seok. Sedangkan kalian tertawa dengan bahagia yang sudah di ubun-ubun karena akhirnya bisa menjadi sepasang pengantin dengan jeda hanya 103 hari dari waktu seharusnya laki-laki yang sekarang kau sebut suami itu menikahiku. Sungguh merasa luar biasakah kalian dengan melakukan hal tersebut padaku?

Aku akan tetap mengingat kalian. Mengingat bagaimana kalian membangun rumah tangga dengan langkah awal menginjak harga diriku dan keluargaku. Mengingat bagaimana kalian menanamkan memori kelam tentang sebuah penghiatan dalam otakku. Mengingat bagaimana kalian menggoreskan pisau untuk mengukir luka di sekujur tubuhku. Mengingat bagaimana kalian menyiram setetes demi setetes air jeruk nipis di atas luka basahku yang kalian buat lalu kalian tertawa bahagia sambil berlalu meninggalkanku yang sedang merasakan perih yang teramat sangat. Lukaku pasti akan mengering pada waktunya. Tapi luka kering pun akan tetap ada bekasnya. Bekas yang tak lagi perih tapi akan tetap terlihat sebagai bekas luka.

Seburuk apapun perlakuan kalian berdua padaku, satu hal yang perlu kalian tahu, aku tak pernah mendoakan hal buruk terjadi pada rumah tangga kalian. Tapi satu hal yang perlu kalian ingat, kalian mengawali rumah tangga kalian dengan menanam bibit bunga bangkai. Sampai kapanpun juga, bibit bunga bangkai tak akan pernah tumbuh menjadi bunga mawar yang harum. Tanpa aku mendoakan yang buruk, hal buruk yang kalian lakukan pada jalanku tetap akan memiliki imbas yang sama pada jalan kalian. Kalian pasti tak akan pernah lupa bagaimana sebab akibat terjadi.

Selamat menempuh hidup baru. Nikmatilah bahagia yang kalian dapatkan dengan cara menginjakku. Entah sekokoh apa bahagia kalian nantinya. Karena kalian telah membangun bahagia kalian dengan pondasi tetesan air mata dan perihnya sakit hatiku dan keluargaku.

Ini adalah surat pertama dan terakhirku untuk kalian. Aku tak akan sudi lagi membiarkan jemariku merangkai kata untuk menulis tentang kalian. Jangan sekali-kali kalian menginjakkan kaki dalam kehidupanku. Cukup sampai di sini saja kalian menggoreskan luka. Biarkan aku hidup dengan caraku untuk menyembuhkan luka yang kalian buat. Dan aku akan membiarkan kalian menjalani hari sambil menunggu waktu menuai apa yang kalian tanam padaku dan keluargaku saat ini. Selamat berbahagia.

Salam dari aku.

Wanita yang sudah bisa kuat berdiri meski dengan luka yang masih basah karena perbuatan kalian.

Komentar