Malam yang dingin dengan ditemani sinar terang bulan purnama terasa
begitu meneduhkan. Jarang sekali kota ini menjadi dingin. Segelas blackcurrant
tea yang ada di hadapanku pun tak membantu menghangatkan diri. Tak banyak yang
aku lakukan di malam seperti ini. Menikmati semilir angin dari jendela kamarku
sambil dirangkul selimut adalah kegiatan rutinku setiap malam, seperti malam
ini.
Sebuah notifikasi dari smartphoneku membuatku mencari dimana letak benda
kecil itu. sebuah pesan dari salah seorang sahabat. Sebuah gambar dengan
catatan kaki, “apa-apaan ini?”. Sedikit tersentak setelah mengetahui gambar apa
yang dia kirim. Screenshot kicauan di sebuah sosial media. Cukup menggelikan
ketika aku melihat siapa yang berkicau itu.
Ada hal menggelitik benakku setelah membaca kata demi kata yang ditulis
si pengicau itu. Mungkin dia tak sadar bahwa dia sedang mengicaukan tentang
dirinya sendiri. Mungkin juga dia sudah lupa, apa yang dia tertawakan di
kicauannya itu adalah tindakannya sendiri. Mungkin pula dia lelah dengan
kehidupannya yang tak menemui jalan bahagia. Dan mungkin saja serabut-serabut
saraf di otaknya sudah tak lagi berkesinambungan.
Seorang laki-laki yang mengaku sudah dewasa ternyata tak lebih dari
balita yang bahkan belum bisa calistung. Seorang laki-laki yang meracau di
dunia maya tak ubahnya si princess yang sedang bercerita tengah liburan di
Perancis. Seorang laki-laki yang katanya akan menjadi seorang bapak tapi
nyatanya tindakannya tak lebih jantan dari seekor burung yang tengah terbang
menerjang panasnya hari hanya untuk mengantarkan sebuah makanan untuk
anak-anaknya yang sedang kelaparan di atas pohon. Sebutan apa yang sebenarnya
bisa menggambarkan sosok laki-laki seperti itu?
Entahlah, palu sebesar apa yang bisa dibuat untuk memukul kepala bulatnya
itu agar otaknya bisa kembali bekerja. Atau haruskah aku sediakan kaca sebesar
layar bioskop agar dia bisa melihat seperti apa dirinya yang sebenarnya? Hey!
Berhentilah merasa benar. Sudah cukup kau menjadi orator yang berkoar-koar
tentang kebenaran menurut versimu itu. Percuma saja. Karena hal itu semakin menjadikanmu
orator ulung. Dan satu hal lagi, segala remeh temeh tentang kicauanmu itu tak
akan pernah lagi membuatku menangis tersedu menyesali kepergianmu. Yang ada,
jemariku semakin lincah merangkai kata demi kata yang pada akhirnya dibaca
ribuan bahkan ratus ribu orang di luar sana.
Sebelum kau berkicau lagi tentang sebuah provokasi, haruskah aku
mengajarimu tentang sebuah etika? Etika yang sepertinya tak pernah kau pelajari
bahkan di usiamu yang menuju kepala tiga. Etika sosial yang tak juga kau
indahkan. Haruskah aku mengingatkanmu bahwa meninggalkan anak gadis orang tanpa
kata di depan gerbang pernikahan itu adalah sebuah kepengecutan? Bukankah
tindakan pergi tanpa sepatah kata apapun dengan persiapan pernikahan yang sudah
90% itu juga sebuah perbuatan yang tidak menyenangkan sekaligus pencemaran nama
baik keluarga besar? Tak perlu lagi kan aku menuliskan dengan detail segala
tindakan bodoh dan pengecutmu itu? Karena tentunya kau dan keluarga besarmu
masih ingat bagaimana kalian telah mempermalukan dan mempermainkanku sekaligus
keluarga besarku. Kecuali memang memori di otakmu sudah tertimbun bantalan
lemak.
Tanpa aku harus berkicau bak seorang perempuan yang merintih karena
sebuah pengkhianatan yang terjadi di gerbang pernikahannya, apa yang sedang
kamu lakukan sekarang sudah menjawab segala tanya yang timbul. Kata demi kata
yang kau tulis dalam kicauanmu menjadi sebuah kutipan-kutipan yang bisa
melengkapi beberapa narasiku tentangmu setelah kau pergi sambil mendorongku
hingga terjerembab. Tak sadarkah kau bahwa beberapa kicauanmu itu bisa membuat
wanita yang sekarang memanggilmu dengan sebutan suami merasa akan salah telah
menitipkan masa depannya padamu setelah dia dengan sadar memotong impianku di
depan gerbang pernikahanku? Betapa pedih hatinya jika dia tahu bahwa ternyata
kau masih asyik mengomentari kehidupan wanita yang telah dia curi senyum
bahagianya?
Ataukah memang hidup kalian sekarang tak bisa tenang setelah mengoyak
harga diriku dan keluarga besarku dengan permainan kotor kalian menjelang
beberapa belas hari ikrar suciku? Dan apakah lelakimu ini tak cukup bahagia
setelah memilih berpaling padamu di depan gerbang pernikahanku dengannya, hai
wanita? Dan apakah wanitamu ini baru merasa bersalah telah merebut yang bukan
milik di detik-detik pernikahan orang lain, hai lelaki? Kalau memang itu
terjadi, entah kata apa yang bisa aku gambarkan untuk kalian. Nyatanya, aku
memang belum berniat berdamai dengan tindakan yang telah kalian lakukan. Luka yang
kalian ukir perlahan sudah mulai sembuh, jadi tak usahlah meracau lagi.
Perlahan pula, seiring berjalannya waktu, aku juga pasti akan lupa dengan
segala rasa nyeri di dada karena kalian meskipun tak pernah ada kata maaf yang
terucap dari bibir kalian.
Sesekali, melihatlah ke bawah agar kau tak tersandung jika kau selalu
berjalan sambil mendongak ke atas. Berhentilah merasa menjadi korban. Berhentilah
merasa benar. Karena kebenaran yang sejati tak perlu dijabarkan. Ia akan
menunjukkan dirinya sendiri tanpa diminta. Dan tak usahlah membuang waktumu
untuk membela kebenaran. Karena kebenaran tak butuh dibela. Ia akan membela
dirinya dengan caranya sendiri.
Jangan pernah kau lupa bahwa kau telah menjalani hidupmu dengan tak
bersikap sebagai laki-laki sebelum kau menikmati hidupmu yang sekarang. Jangan
lagi kau merendahkan dirimu sendiri dengan melakukan tindakan bodoh untuk
kesekian kalinya. Tak bosankah kau menjadi lelaki yang hanya bisa berkicau tak
ubahnya burung kenari? Tak inginkah kau belajar menjadi laki-laki sejati? Atau
lupakah kau dengan tanggungjawab dan kewajibanmu sebagai lelaki? Lupakah kau
bahwa menjadi kepala keluarga itu tak semudah mengicaukan hidupku yang telah
kau kacaukan? Hidup tak cipirili seperti kata Dulce Maria, bung. Dan kantong
ajaibnya Doraemon pun tak akan pernah ada di dunia nyata.
Pada saatnya nanti, kau akan risau ketika kicau yang kau tanam telah
berbuah menjadi kacau. Jadi berhentilah berkicau. Berhentilah meracau. Karena
tanpa kau sadari, hidup sekarangmu yang kau awali dengan mengacaukan hidupku
akan semakin kacau dengan racauanmu yang tak berbobot itu.
Ini hanya saran dariku. Tapi kalau memang kau masih sanggup menerima
tambahan akibat dari sekian sebab yang sudah membuatku terjerembab karenamu,
silahkan saja lanjutkan kicauanmu. Karena di hidupku, kicauanmu hanya akan
masuk dalam spam, bukan dalam inbox.
salam kenal dari saya referensi rumah tinggal banyak banget pilihannya
BalasHapusRumah Murah Di Medan
Rumah Murah Di Medan